Wawancara Kepulangan Kelima

Di sela-sela kesibukannya sebagai owner Indie Book Corner, menulis, giat di forum-forum sastra, dan masih banyak lagi segudang aktivitas lainnya. Irwan Bajang merelakan waktu luangnya untuk saya grecoki. Haha. Terkait dengan karyanya, album musikalisasi Kepulangan Kelima. Saya lakukan semua itu atas nama passion to art and sains. Beruntung dia tidak keberatan. Meski agak terlambat merespons email yang saya kirim 5 hari yang lalu dan beberapa pertanyaan ada yang terskip. Karena memang terlalu teknis untuk dijelaskan di sini. Namun sama sekali bukan masalah penting. Jika Irwan mengatakan menulis puisi itu untuk bersenang-senang, maka dibuatnya sesi interview ini juga untuk bersenang-senang. xoxoxo…🙂

***

Saya tak cukup paham dengan puisi, kecuali mungkin merasai setiap diksi-diksi didalamnya, sebagai contoh yang saya kutip di puisi Kepulangan Kelima; “tak ada yang bisa mengkhianati kenangan, meski kita telah gagal menyelamatkan perasaan masing-masing”, menurut Anda apakah puisi itu?

Puisi, bagi saya pribadi adalah sebuah jalan untuk bersenang-senang. Saya senang saat saya  menulis puisi. Sama kayak pemain bola atau penunggang kuda bahagia saat melakukan aktivitasnya. Tentunya sebagai penulis yang karyanya akan dibaca orang lain, saya juga harus memikirkan bagaimana kesenangan saya menulis puisi ini bisa menyentuh dan menyenangkan orang juga. Pemain bola harus bikin gol indah agar penontonnya bisa teriak dan senang. Setidaknya pengalaman saya dan pembaca pasti banyak bertemu pada beberapa titik. Nah, titik itu yang mati-matian dicari oleh seorang penulis. Titik pertemuan, di mana pengalaman penulis, pengalaman pembaca bertemu. Di pertemuan itu impresi kita bertemu dan kita seolah mengalami kejadian yang sama. Penulis dan pembaca bertemu dalam sebuah pengalaman menulis dan membaca yang bersinggungan.

Di web Anda terpajang sebuah adagium yang cukup menarik “Ketika semua orang bisa memproduksi bukunya, mungkin kita sudah gak butuh penerbit lagi.” Sepertinya Anda cukup vokal mengajak orang-orang agar menerbitkan bukunya secara indie, jika bukan, self-publish, boleh minta alasannya kenapa? Bukankah lebih baik dicetak dan diurus oleh penerbit-penerbit besar, mengingat profitable yang menggiurkan menanti di hari depan? 

Saya memulai karir menulis saya hitungannya tanpa bantuan siapapun secara langsung. Memang ada guru bahasa Indonesia sewaktu sekolah. Tapi dalam proses selanjutnya saya yang mencari sendiri pengalaman menulis, saya membaca sendiri, saya menemukan kegembiraan dan kenikmatan sendiri di sana. Nah, di awal, buku pertama saya cetak sendiri dengan sangat sederhana. Saya layout, bikin cover dan distribusi sendiri dengan teman-teman. Saya menikmati sekali situasi itu. Novel saya pernah diterbitkan oleh penerbit mayor juga, namun toh akhirnya saya balik ke jalan saya semula. Saya itu suka sekali tantangan, nah, menerbitkan buku sendiri, mendatangi pembaca sendiri itu menantang bagi saya. Saya suka dan saya jalani deh 🙂 .  Dalam beberapa kasus sebenarnya tidak ada yang berbeda antara penerbit konvensional dan menerbitkan buku secara indie atau mandiri. Hanya masalah siapa yang mendanai, siapa yang menjual dan share keuntungan aja. Selama ini saya lebih merasa diuntungkan dengan menempuh jalan menulis dan menerbitkan sendiri. Baik secara waktu, idealisme, sebaran buku, hak dan hasil secara finansial ataupun non finansial. Makanya saya sering kampanye menerbitkan buku sendiri. Siapa tau ada yang suka, ada yang nyaman, jadi bisa nambah banyak teman sharing lagi :). Royalti penerbit 10%, royalti saya 80% dari harga jual buku. Kalau hitung matematis, pendapatan saya jauh lebih banyak sih. Tapi menulis kan nggak semata-mata untuk itu. Ada banyak maksud lain selain kepentingan finansial.

Selain menulis puisi, cerpen, esei, dan mengurus Indie Book Corner apakah Anda juga bisa memainkan alat musik? Jika iya, apa? Apa yang mendorong anda untuk memasukan unsur musik dalam puisi ini?

Saya nggak bisa main alat musik, ngggak bisa nyanyi. Heheh. Tapi hidup saya ditemani musik sejak lahir. Sejak SD ayah saya sudah meracuni saya dengan banyak sekali jenis musik, terutama rock, sampai sekarang saya suka musik. Nah karena saya nggak bisa, maka saya kolaborasi. Kalau saya paksakan, bisa hancur deh karya itu. Hahahaha. Nggak semua orang suka baca puisi, nggak semua orang suka baca buku, buku Kepulangan Kelima saya maksudkan untuk menyentuh lebih banyak audiance, kalau nggak suka baca, denger aja tulisan yang dibacakan atau dinyanyikan. Pesan dan pengalaman saya mungkin bisa saja tidak sampai seperti apa yang saya maksudkan saat menulis, tapi bisa jadi juga sampai dengan lebih cepat, lewat jalan yang nggak saya pikirkan sebelumnya. Perkara itu kan, hak pembaca. Masak sih saya udah nulis sendiri, saya mau mengarahkan pembaca lagi untuk memahami sesuai mau saya. Saya ini siapa?

Seberapa besarkah kecintaan Anda terhadap musik?

Seperti jawaban saya di atas. Ayah saya suka musik, tiap hari saya mendengarkannya dan sampai sekarang susah sekali hidup tanpa musik. Hehehe. Gini gini SMA saya punya band, lho. Tapi band yang kacaulah, hahaha. Untung aja bandnya bubar, kalau nggak bubar saya bisa saingan sama Kangen Band.

Musik dan puisi manakah yang paling Anda sukai di album Kepulangan Kelima ini?

Saya menikmati semuanya, Ari KPIN mengekspresikan apa saja terserah dia dan bandnya. Saya nggak ikut campur bagaimana warna musiknya, keceriaan atau kesedihan yang ia sajikan lewat alunan musik, semuanya terserah kolaborator. Ari saya posisikan sebagai pembaca, bukan rekan penulisan puisi, meskipun beberapa puisi saya ada yang diberi masukan juga dan dikoreksi. Saat proses berlangsung, saya masuk menjadi bagian dari bandnya aja, bukan sebagai orang yang menulis puisi lagi. Saya suka Rinjani, Bangun Tengah Malam, dan Merah Padam Wajahmu. Banyak puisi yang saya tidak duga pemaknaannya bisa berbeda. Itu lucu, menyenangkan dan penuh kejutan.

Apakah Anda cukup puas dengan Album musikalisasi puisi ini, bagaimanakah proses  kreatifnya? Mengingat Anda,  Ari KPIN, dan Octora Guna Nugraha berada di kota yang berbeda dengan Anda?

Puas sekali, sampai menjelang album ini jadi saya tidak pernah berjumpa dengan mereka. Semua dilakukan jarak jauh, bahkan saya rekaman suara sendiri di kos. Hasilnya saya kirim via email dan dimusikkan, digabungkan oleh Ari KPIN. Menjelang Album rampung saya ke Bandung, jumpa sebagai teman dunia maya di dunia nyata. Kenalan, ngobrol-ngobrol dan finishing album Kepulangan Kelima. Lalu jadi deh. Hehehehe. Itulah kekuatan generasi cyber. Gak perlu jumpa, nggak perlu saling kenal, tapi kita bisa kerjasama.

Apakah Anda juga turut campur meracik komposisi setiap track di album ini?

Nggak, semuanya murni Ari KPIN. Saya itu pengen belajar musik, karena saya nggak bisa.

Apa yang Anda pilih puisi atau musik?

Puisi donk.

Rinjani, lagu ini begitu sunyi dan sepi, semacam kontemplasi total (setidaknya menurut saya). Manakah yang lebih dulu dibuat, puisi, atau komposisi musiknya?

Musikalisasi itu lahir dari puisi. Induknya puisi yang sudah jadi. Musik takluk pada puisi, Ari berjuang menemukan nada yang pas, intonasi yang pas. Semua puisi sudah jadi dan nggak diubah satu titik pun oleh pemusiknya. Itu perbedaan lagu secara umum dan musikalisasi puisi. Puisi jadi, si pemusik membuat puisi ini menjadi lagu.

Terakhir Bung, seandainya saya atau mereka ingin menulis buku secara Indie apakah yang harus dilakukan sebelum naik cetak karena mungkin kebanyakan dari kami takut tidak laku bukunya jika sudah dicetak, sehinga kerugian (secara materi) atasnya pun tak dapat dihindari, bagaimanakah mengantisipasi hal tersebut menurut Anda?

Belajar menulis yang bagus! Itu tugas pertama seorang penulis. Buku bagus memang belum tentu laku. Tapi buku bagus nggak laku lebih terhormat daripada buku jelek yang laris. Hm….., kenapa takut rugi, kan buku bisa diproduksi 1 eksemplar saja. Kalau nggak pesen ya nggak usah dicetakin. Hehehe. Atau kalau mau bener-bener bukunya dicetak banyak, kerjasama sama marketing, komunitas atau media untuk publikasinya. Intinya itu sih.

Terima kasih Bung Irwan atas waktunya. Keep breathing in poetry, a poetry, and poetry for many people. Tabik!

One comment

Leave a comment