Month: December 2014

Rinai, Dimensi Hujan Jatuh Saat Mentari Tenggelam

Aku tidak meminta pada siapapun untuk menyukaiku, menyayangiku, mencintaiku. Aku adalah aku sebagaimana diriku. Meski aku tahuk, aku begitu lemah ketika kita saling memandang. Senyummu, tahik lalatmu, suaramu, menenangkan keapianku. Konon, orang yang lahir pada hari selasa memiliki sifat-sifat api secara lebih kental. Dan memang eksis dalam diriku bara itu. Dalam situasi kondisi tertentu, aku dapat dengan mudah terpancing emosi, sulit berpikir jernih, kekanak-kanakkan. Tetapi, hanya memandangmu, memerhatikan simpul senyum bertahik lalat di atas bibirmu cenderung menciptakan kedamaian dalam diriku, kusadari, aku memang punya kecenderungan mendadak tenang hanya dengan memandang perempuan yang kusukai. Entah sejak kapan perasaan seperti itu muncul dari dalam diriku. Hanya baru kusadari sekarang. Keluguanmu, sejujurnya seringkali membuatku tertawa, dan kusimpan hanya dalam malam. Saat hening mencapai telak. Menepikannya pada sunyi memakam dalam ruang yang tak terlalu besar ini. Ruang tempat aku bekerja, makan, dan terlelap. Kita memang sudah tahuk perihal kesunyian yang tercatat di dalam. Ada yang selalu jatuh dari langit sana, setiap senja, sebelum suara adzan menggema. Ada yang selalu menangkap matamu di daratan ini, dekat, erat seperti percik air menempel di tepi kaca jendela.

Senja Yang Menghadirkan Masa (II)

Persisnya aku lupa ketika berkenalan denganmu saat itu. Mungkin hanya spontan saja. Kita bertukar nomor hp begitu saja. Lalu, besoknya kita sama-sama memutuskan untuk melihat tempat-tempat di seputaran kota ini. Kota yang asing, pikirku. Tetapi keasingan ini agak berbeda. Membuatku merasa nyaman, malah. Memang darah priangan bergejolak kental di sini mungkin karenanya aku tak merasa benar-benar asing. Karena aku telah cukup akrab dengan situasi kota-kota priangan. Masih dalam lingkup tradisi yang sama di mana aku dilahirkan dan dibesarkan.

Engkau hanya mengetikan alamat lewat sms sebuah tempat di mana kita mengadakan pertemuan. Bertemu. Tentu saja agar kita mampu lebih mengenal satu sama lain, paling tidak tak hanya di ruang virtual. Kusanggupi tempat yang engkau sms-kan. Aku pun antusias. Lekas bergegas dari mess dan hanya bermodal angkot disertai uang Rp.50,000, aku cukup nekat saat itu. Bukan nekat sebetulnya, konyol lebih tepat. Kekonyolanku pun memuncak ketika, ternyata, engkau membawa serta teman-temanmu. Genk-mu. Hal yang tak pernah kupikir sebelumnya. Sialan! Sebagai lelaki yang ketat menjaga citra kelelakiannya di mana mentraktir perempuan adalah kewajiban yang sudah mirip sembahyang hal ini dapat jadi kabar buruk buat pencitraanku.

Otomatis dugaan tiba-tiba pun muncul mengalir, pasti genk-mu akan meminta traktir. Benar saja, ke Mall main Billyard. Astaga. Mengingat uangku hanya Rp,50,000, saja dipotong 2x ngangkot sisa Rp,44,000, huahaha. Kalian telah menghentikan napasku sepersekian detik.

Akhirnya, kita semuapun hanya berakhir di warung kopi. Dengan membuang urat gengsi-malu-menyedihkan, kusuruh teman-temanmu pulang duluan sesudah minum kopi di warung kopi itu. Runtuh sudah pencitraanku. Lebur.

Setelah mereka pergi akupun hanya berbincang dan berjalan denganmu, membagikan pengalaman hidup masing-masing, kemudian berhenti di tukang es buah sambil menghitung recehan dalam dompet dalam hati, menyisakannya agar aku dapat mengantarkanmu pulang selain mencairkan suasana memalukan seperti tadi, tentu saja. Setidaknya senja mega mendungpun pun menelusup ke dalam es yang kita cecapi. Rasanya itu Xanax artifisial buatku. Haha

Malam pelan-pelan menjalar. Kecanggungan antara kita sedikit memudar. Aku mengajakmu pulang karena mustahil rasanya mengajakmu untuk makan sate. Kita hentikan angkot. Turun darinya. Menghentikannya lagi. Lalu berakhir di sebuah lapangan hijau terbentang, sepertinya lapangan itu tempat nangkring macam-macam komunitas motor, aku melihat motor berjejeran di sana. Berbagai merk. Berbagai Bentuk.

Engkau memang tak ingin pulang malam itu, engkau ingin bertemu temanmu dulu di sana, di antara kawanan itu. Dan aku ingin cepat pulang ke mess, ingin melupakan hari itu lekas. Langit saat itu begitu cerah, aku menghentikan angkot disertai sebatang rokok terakhir, mengepulkan asapnya ke udara berupaya meraih kerlip bintang namun tak pernah sampai, seolah bintang-bintang di kejauhan sana memertontonkan tawa mencemooh. Rerumputan ikutan terbahak. Pohon-pohon tercekikik. Kota ini menertawakanku. Mereka menertawakanku. Engkau, mungkin juga menertawakanku.

Senja Yang Menghadirkan Masa (I)

Hampir 3 tahun lalu. Di kota ini, kota yang terkenal dengan sebutan Kota Hujan pernah kudiami. Tak lama memang, kurang dari setahun, kisaran delapan bulan saja. Dalam rangka ‘aktivisme’ sekaligus mencari tambahan uang agar bertahan di situ kala itu. Cukup kompleks ketika aku harus tinggal di Kota ini sementara sidang skripsi saat itu tinggal beberapa minggu lagi, di Kota lain pulak. Ah, aku sudah menutup cerita soal studiku itu.

Disebut kompleks karena ini berkaitan dengan hal-hal politik, tentara, bahkan klenik. Tentara? Hahaha. Klenik? Holy-Crap! Ya, memang saat itu aku menginap di sebuah mess kepunyaan salah satu Mayjen TNI-AU yang dalam rutinitasnya membaurkan hal-hal di luar nalar normatif secara kolektif. Praktek mitologi yang dipaksakan pada era posmodern seperti sekarang. Namun, semakin ke sini aku hanya menganggapnya sebagai bentuk kearifan lokal saja. Penanda identitas waktu dan massa dahulu kala. Warisan tradisi. Pengalaman yang lumayan berharga. Meski sebagian orang memanfaatkan hal ini untuk keuntungan pribadi. Aku benci pada bagian ini.

Kuakui memang di Kota ini juga aku banyak mendapat pelajaran penting soal hidup. Perspektif baru dalam memandang hidup terutama setelah membaca karya-karya Tan Malaka yang makin diperkuat lagi dengan mendengar dan menafsirkan Homicide. Kolektif hip-hop yang sudah menjadi kultus bagi sebagian orang. Semenjak saat itu, hidupku tak pernah sama lagi memang. Dan memang bagiku mereka begitu inspirasional! Bukankah sebaik-baiknya memberi adalah menginspirasi?

Kini, aku kembali lagi ke Kota ini. Kali ini dalam rangka hanya  pekerjaan. Aku telah resign dari pekerjaan lama. Pekerjaan yang sempat kubela sepenuh energi namun harus kurelakan pergi. Menyerah? Kalah? Munafik? Mungkin. Mungkin. Aku tak keberatan dikatakan demikian. Yang pasti aku gagal bertahan di sana, dan yang mengataiku tak akan bisa menghentikan kesusahan-kesusahanku saat menjalani hari, memberi senangpun mustahil rasanya. Maka yang kupilih saat ini adalah adaptasi agar esok hari lebih baik dari hari ini. Sesederhana itu.

Kota ini, meski cumak ditinggalkan nyaris 3 tahun olehku ternyata sudah banyak perubahan. Salah satu kelebihanku dalam merasakan perubahan adalah hanya dengan menghirup udaranya. Penciumanku cukup peka dalam mendeteksi oksigen yang tercecer di udara. Mungkin ini suatu bakat alam. Aku bisa merasai udara di sekitar sini bahwa di sini makin pengap. Tak sama. Tak akan pernah sama lagi sepersis aku di sini kala itu. Meskipun tak sepengap Jakarta atau Bekasi.

Bukankah wajar jika kita menempatkan perspektif bahwa kota ini akan bertransformasi menjadi Kota Wisata, persisnya Industri Wisata. Cukup masuk akal karena Kota ini cumak terpaut puluhan mil dari Ibu Kota di mana pusat kapital berputar. Orang akan membutuhkan udara segar ketika akhir pekan tiba, Kota ini pun menjadi pilihan di antara sedikit pilihan, selain Bandung tentu saja. Yang biasanya akan sesak sekali bila akhir pekan datang. Aku tak tahuk secara pasti sejak kapan kota Bandung menjadi tempat perayaan kecil-kecilan massa pekerja. Namun dengan begitu makin menjamur pulaklah lumpen proletariat di sana. Seperti di Kota ini. Persis.

Kupikir hanya satu yang tak berubah di sini yaitu, senjanya. Aku selalu suka ketika senja melintas di Kota ini. Entahlah, karena jika di kota-kota lain sensasinya juga lain. Semacam hadir sublimitas yang menyentuh bagian diriku.

Voice of Voiceless

Babylon was built on fire and the bones of useless machines, it hurt to breathe you fell away from me ~Babylon Was Built On Firestars, Thee Silver Mount Zion Memorial Orchestra 

Aku merindukan sebuah rumah. Tempat, di mana aku bisa menumpahkan keluh kesah, gelisah, resah. Aku merindukan sebuah rumah. Tempat, di mana aku bisa bercerita bebas gembira, ceria, tertawa. Aku merindukan sebuah rumah. Tempat, di mana jiwaku mampu kubenamkan dan terbitkan sesuka hati.

Aku merindukan rumah. Masa, di mana aku bisa memberitahukan apa yang aku inginkan kepada Ayah dan Ibuku. Segala yang aku mau. Sama seperti saat aku kecil. Aku merindukan di mana aku bisa bermain bola di halaman rumahku, bermain tenis meja, mendirikan tenda bersama teman-temanku. Tertawa. Hanya Tertawa.

Aku sangat merindukan sebuah rumah. Tempat, di mana aku dan adikku suka berebut mainan. Aku membuatnya kesal, dia membuatku kesal. Kita menjadi menyebalkan! Rumah. Tempat, di mana aku bisa membawa teman-temanku bermain di rumahku, membawa pacar ke rumahku dengan perasaan bebas.

Aku merindukan kolam ikan yang berada di depan rumahku yang terdapat pos ronda di sebelahnya. Dan aku suka bermain gitar sekaligus bernyanyi di sana. Aku rindu membuat puisi abal-abal di kamar rumahku  dengan suasana sepi, damai, dan menenangkan. Di rumahku, aku dapat memandang purnama di bawah pohon mangga dengan telanjang. Sesekali makhluk astral tampak dengan lancang menggoda adik dan teman-temanku. Meski aku agak ragu dengan kisah itu.

Di rumahku, pasar yang terbakar pun bisa terlihat jelas. Api berkobar disertai asap pekat memangsa udara sebagai tanda bahwa zat kimia telah berubah menjadi monster tak berbentuk. Serupa lukisan abstrak yang bertinta gelap dan abu.

Suatu kali saat aku kecil aku pernah membakar gabus di belakang rumahku yang memotivasi kebakaran jika para tetanggaku tak sigap siaga membanjiri api dengan air. Padahal saat itu aku hanya ingin bermain. Pikiranku begitu bebas, tak memikirkan konsekuensi. Lepas begitu saja.

Warna dinding keramik yang hijau. Pagar hijau. Barisan pepohonan yang juga hijau di belakang. Atap yang tidak jarang digerogoti tikus. Suara-suara langkah kaki yang aneh jika malam menangkap. Aku merindukannya. Saat hujan datang, aku selalu merasa nyaman berada di kamar rumahku. Terlebih jika engkau juga hadir bersamaku.